
Yogyakarta, (05/03) – Program Studi Magister dan Doktor Kepemimpinan dan Inovasi Sekolah Pascasarjana UGM bekerja sama dengan PSKK menggelar talk show bertajuk “Pergi atau Bertahan? Dilema Generasi Muda dalam Fenomena #KaburAjaDulu” pada Rabu (5/3) di Auditorium Lantai 5. Acara ini menghadirkan berbagai perspektif dari akademisi dan praktisi mengenai tren meningkatnya keinginan generasi muda Indonesia untuk bekerja atau tinggal di luar negeri. Talk show ini menghadirkan tiga pembicara utama: Prof. Dr. Sukamdi, M.Sc. (Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM), Dr. Media Wahyudi Askar, M.Sc. (Dosen Fisipol UGM), serta Judha Nugraha (Direktur Perlindungan WNI, Kementerian Luar Negeri RI).
Prof. Dr. Sukamdi membuka diskusi dengan menyoroti bahwa migrasi tenaga kerja, baik internal maupun internasional, adalah konsekuensi dari kesenjangan ekonomi antarwilayah dan antarnegara. “Faktor utama yang mendorong seseorang untuk bermigrasi adalah perbedaan upah. Ketika terjadi ketimpangan ekonomi, maka arus migrasi selalu terjadi dari wilayah dengan upah rendah ke wilayah dengan upah lebih tinggi,” jelasnya. Namun, ia juga menyoroti bahwa tidak semua orang yang mengalami kondisi ekonomi sulit memilih untuk bermigrasi. Keputusan individu untuk pergi atau bertahan bergantung pada persepsi mereka terhadap peluang dan keterbatasan yang mereka hadapi. Ada yang memilih untuk pergi karena melihat kondisi di tempat tinggalnya tidak menguntungkan, sementara ada yang tetap bertahan karena berbagai keterbatasan, termasuk faktor sosial dan keluarga. Menurutnya, fenomena #KaburAjaDulu bukan sekadar pilihan ekonomi, tetapi juga cerminan dari ketidakpuasan terhadap kondisi dalam negeri, termasuk kebijakan dan stabilitas ekonomi.
Dr. Media Wahyudi Askar melanjutkan diskusi dengan menyoroti kegelisahan generasi muda terhadap kondisi ekonomi Indonesia. Ia menjelaskan bahwa banyak anak muda merasa tidak memiliki harapan di dalam negeri karena keterbatasan lapangan kerja dan ketidakpercayaan terhadap kebijakan pemerintah. “Banyak generasi muda mengatakan, ‘Aku enggak melihat masa depanku di Indonesia.’ Ini adalah bentuk frustrasi yang nyata. Faktor utamanya adalah keterbatasan lapangan kerja yang layak serta persaingan ketat di dunia kerja,” jelasnya. Dr. Media juga menyoroti fakta bahwa 60% tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal, sementara 7,2 juta orang menganggur secara resmi, dan 12-15 juta lainnya bekerja dalam kondisi setengah menganggur (BPS, 2024). Menurutnya, kegagalan konsep “School to Work Transition” di Indonesia menyebabkan banyak lulusan kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasinya. “Dengan upah minimum yang relatif rendah dan ketidakpastian kerja, banyak yang berpikir bahwa mencari pekerjaan di luar negeri adalah pilihan yang lebih rasional,” tambahnya. Selain alasan ekonomi, ia juga menyebutkan bahwa ada faktor sosial, seperti keinginan untuk hidup lebih layak, akses terhadap sistem kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, serta tekanan sosial di lingkungan sekitar.
Pembicara ketiga, Judha Nugraha, menyoroti tantangan yang dihadapi WNI yang bermigrasi ke luar negeri, terutama bagi mereka yang tidak melakukan persiapan dengan matang. Ia mengungkapkan bahwa banyak kasus pekerja migran yang mengalami eksploitasi terjadi karena mereka berangkat tanpa pemahaman yang cukup mengenai hukum dan budaya negara tujuan. Salah satu fenomena yang mengkhawatirkan adalah maraknya kasus online scam yang menargetkan anak muda berpendidikan tinggi. “Kami mencatat 68 ribu kasus online scam, dan mayoritas korban adalah generasi muda berusia 18-30 tahun, termasuk mereka yang memiliki gelar Master dan profesional yang sudah bekerja,” ungkapnya. Kasus ini sangat berbeda dengan eksploitasi tenaga kerja tradisional. Jika sebelumnya korban perdagangan manusia didominasi oleh pekerja migran perempuan dengan latar belakang ekonomi rendah, kini korban utama justru adalah anak muda berpendidikan, termasuk mantan anggota DPRD dan profesional yang mencari peluang kerja di luar negeri. “Salah satu modus yang sering terjadi adalah tawaran kerja di luar negeri dengan gaji tinggi tanpa syarat keterampilan atau bahasa Inggris. Mereka yang terdesak secara ekonomi sering kali langsung menerima tawaran ini tanpa berpikir panjang. Akibatnya, mereka terjebak dalam jaringan penipuan online dan dipaksa menjadi scammer,” jelasnya. Selain itu, banyak WNI menghadapi risiko hukum karena ketidaktahuan terhadap peraturan di negara tujuan. Judha mencontohkan kasus seorang WNI di Arab Saudi yang dituduh melakukan praktik sihir hanya karena membawa jimat bertuliskan ayat Al-Qur’an, yang di Indonesia dianggap sebagai hal biasa. “Di Arab Saudi, ini dikategorikan sebagai praktik sihir dan hukumannya adalah hukuman mati,” tegasnya.
Mengakhiri diskusi, Judha Nugraha menekankan pentingnya melakukan migrasi yang aman, tertib, dan teratur. Ia menegaskan bahwa pergi ke luar negeri bukanlah hal yang salah, tetapi harus dilakukan dengan persiapan yang matang. “Jika ingin meningkatkan kesejahteraan melalui migrasi, maka mulailah dengan meningkatkan keterampilan dan persiapan yang baik. Jangan hanya ‘kabur’ tanpa perencanaan,” ujarnya.
Sebagai langkah mitigasi, ia memberikan beberapa rekomendasi bagi calon migran:
Luruskan niat, pastikan migrasi dilakukan karena tujuan yang rasional dan bukan sekadar pelarian dari masalah pribadi. Persiapkan diri dengan baik, kuasai keterampilan yang dibutuhkan, termasuk bahasa dan pemahaman tentang pasar kerja di negara tujuan. Lakukan dengan aman, pelajari hukum dan budaya negara tujuan, serta hindari tawaran kerja yang mencurigakan. Terakhir, lapor diri ke Perwakilan RI terdekat untuk mendapatkan perlindungan hukum jika terjadi masalah.
Diskusi yang dimoderatori oleh Dr. Tauchid Komara Yudha, MDP. ini memberikan wawasan mendalam mengenai fenomena #KaburAjaDulu dan tantangan yang dihadapi generasi muda Indonesia. Migrasi dapat menjadi peluang bagi mereka yang ingin memperbaiki kondisi ekonomi dan kariernya, tetapi jika dilakukan tanpa persiapan yang matang, risiko eksploitasi dan masalah hukum dapat menjadi ancaman serius. Para pembicara sepakat bahwa pemerintah perlu menyediakan lebih banyak peluang kerja dan menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi generasi muda agar mereka tidak merasa harus meninggalkan Indonesia untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. #KaburAjaDulu bukan hanya sekadar tren, tetapi refleksi dari tantangan nyata yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat.
Penulis: Clarashinta Ar.