Judul: Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan: Studi Kasus Kota Yogyakarta melalui Simulasi Pengembangan Model Dinamis
Penulis: Didi Nuryadin
Deskripsi:
Sebelum tahun 1970-an, pembangunan dipandang sebagai fenomena ekonomi di mana peningkatan keuntungan secara cepat dan pertumbuhan GNP perkapita akan memberikan efek tetesan ke bawah (tricle down effect) dalam bentuk perluasan kesempatan kerja dan kesempatan ekonomi lainnya, atau menciptakan kondisi yang diperlukan bagi terdistribusinya manfaat pertumbuhan ekonomi dan sosial secara lebih luas. Masalah kemiskinan, pengangguran, dan distribusi pendapatan adalah hal kedua yang akan diselesaikan oleh pertumbuhan itu sendiri. Pengalaman tahun 1950-an dan 1960-an mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang salah dengan definisi yang sempit dari pembangunan. Karena banyak negara Dunia Ketiga mewujudkan target pertumbuhan ekonomi mereka, tetapi tingkat hidup masyarakatnya relatif tetap bahkan sebagian besar tidak berubah. Sehingga pada tahun 1970-an, pembangunan ekonomi didefinisikan kembali dalam hal pengurangan atau penghapusan kemiskinan, ketidakadilan, dan masalah pengangguran dalam konteks pertumbuhan ekonomi. “Redistribusi pertumbuhan” menjadi slogan umum pembangunan ekonomi (Soubbotina, 2004).
Hubungan antara aspek lingkungan dengan aspek sosial dan eknomi baik dalam skala regional, negara, bahkan global adalah kompleks (Boulding 1966; Markandya 1998; Grossman & Krueger: 1995, 1996; Arrow, et.al 1995; Seldon & Song 1994; Shafik & Bandyopadhyay 1992; Beckerman 1992). Isu degradasi lingkungan, pada awalnya seakan merupakan masalah utama negara maju dan merupakan efek samping dari kemajuan industri, namun kemudian menjadi isu yang terus mengemuka di negara berkembang. Banyak negara miskin yang terperangkap dalam lingkaran saling terkait yang menghubungkan antara ekologi dan penurunan ekonomi (WCED, 1987, hal.xi). Lingkaran saling terkait antara kemiskinan dengan degradasi lingkungan adalah sebuah oportunitas yang terbuang dari potensi pemanfaatan sumberdaya. Apa yang dibutuhkan sekarang ini adalah era pertumbuhan ekonomi baru yang menekankan pada kesamaan antara keberlanjutan sosial dan lingkungan (WCED,1987,p.xii).
Pembangunan berkelanjutan adalah istilah yang banyak digunakan oleh para ekonom dan pengambil kebijakan di seluruh dunia, meskipun gagasan ini masih agak baru dan memiliki interpretasi yang kurang seragam. Konsep pembangunan berkelanjutan masih terus dikembangkan dan definisi istilah ini masih terus-menerus direvisi. Menurut definisi klasik, yang dikemukakan oleh Komisi Dunia PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan tahun 1987, pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri atau pembangunan yang mempertemukan antara kebutuhan sekarang tanpa mengesampingkan ketersediaan kebutuhan pada generasi yang akan datang.” Hal ini biasa dipahami bahwa keadilan “antargenerasi” tidak mungkin dicapai tanpa adanya keadilan sosial di masa kini, atau jika kegiatan ekonomi beberapa kelompok terus membahayakan kesejahteraan milik kelompok lain atau kelompok yang tinggal di bagian lain (WCED Brundtland Commision, 1987).
Pembangunan Kota Yogyakarta yang semakin meningkat dan intensif terutama infrastruktur pariwisata menyebabkan berkurangnya lahan untuk tempat tinggal (permukiman). Perkembangan tersebut memaksa Kota Yogyakarta melakukan perluasan ke daerah pinggiran. Salah satu wilayah pinggiran yang mengalami dampak yang paling besar adalah Kecamatan Umbulharjo (Rahayu, 2009). Kecamatan Umbulharjo yang semula merupakan wilayah pertanian mulai berubah fungsi menjadi wilayah non pertanian khususnya permukiman, perkantoran, industri dan pertokoan. Hingga tahun 2014, luas konversi lahan pertanian menjadi permukiman dan sarana sosial-ekonomi lainnya di Kota Yogyakarta sebesar 107 Ha, di mana Kecamatan Umbulharjo merupakan wilayah dengan tingkat konversi lahan pertanian paling besar dengan rata-rata 6,1 Ha per tahun (SLHD, 2015).
Semakin padat penduduk kota maka kualitas lingkungan semakin rendah (Todaro dan Smith, 2006), yang disebabkan karena pertumbuhan populasi penduduk kota sudah melebihi kapasitas daya dukung lingkungannya. Pada tahun 2014 jumlah penduduk di Kota Yogyakarta sebanyak 400.467 jiwa, menempati luas wilayah 3.250 km2 sehingga kepadatan penduduk sebesar 123,22 jiwa/km2 (DDA, 2015). Jumlah penduduk yang tinggi dan terus meningkat dari waktu ke waktu memberikan dampak terhadap tingginya tekanan pemanfaatan ruang kota terutama berkurangnya ruang-ruang terbuka (open space), yang berupa Ruang Terbuka Hijau (RTH) maupun Ruang Terbuka Non Hijau. Ruang terbuka publik justru berpotensi menjadi ruang permukiman atau ruang budidaya, meski di dalam Undang-Undang Penataan Ruang (UU No 26 Tahun 2007) telah diatur bahwa minimal 20% RTH publik dan 10% RTH privat dari luasan areal yang ada. Hingga tahun 2014, luas RTH eksisiting adalah 584,45 Ha atau 17,78%, yang terdiri dari RTH publik seluas 329,63 Ha dan RTH privat seluas 254,82 Ha. Berdasarkan luas wilayah, Kota Yogyakarta masih memerlukan 390,55 ha ruang terbuka hijau, sedangkan berdasarkan jumlah penduduk, masih kekurangan RTH seluas 220,91 Ha (Ratnasari.A.,et.al., 2015).
Berangkat dari berbagai uraian yang dikemukakan pada latar belakang, persoalan daya dukung (carrying capacity) menjadi masalah utama dalam pembangunan Kota Yogyakarta. Bertambahnya jumlah penduduk diiringi dengan pesatnya pembangunan fasilitas fisik maupun sosial menyebabkan daya dukung wilayah, baik lingkungan alam, sosial maupun buatan mengalami degradasi kualitas hingga mencapai tahap yang mengkhawatirkan. Pembangunan yang tidak selaras antara kondisi perekonomian dan kondisi sosial menyebabkan terjadinya tekanan kelingkungan yang berakibat pada berubahnya kondisi lingkungan dan berkurangnya kualitas lingkungan. Kondisi ini memunculkan 2 pokok masalah utama yang akan dikaji dalam penelitian ini yakni:
-
Kemajuan pembangunan Kota Yogyakarta di berbagai bidang mendorong penduduk dari luar Kota Yogyakarta untuk turut mengakses ketersediaan fasilitas-fasilitas sosial seperti pendidikan, kesehatan dan ketersediaan kesempatan kerja maupun peluang usaha. Jika hal ini terus terjadi maka potensi masalah-masalah sosial dan urban yang dapat timbul di antaranya adalah meningkatnya kepadatan penduduk, kemacetan dan kurangnya infrastruktur. Implikasi lain dari masalah tersebut adalah semakin menurunnya daya dukung lingkungan, akibat pemanfaatan yang terus-menerus tanpa memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan. Berbagai masalah lingkungan seperti kekurangan air bersih (menurunnya ketersediaan air bawah tanah) dan polusi sangat berpotensi mengakibatkan ekternalitas ekonomi. Untuk itu, diperlukan analisis pembangunan wilayah dengan mengadopsi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang mampu menggambarkan dan mensimulasikan kompleksitas keterkaitan antara aspek sosial, ekonomi dan lingkungan dan sekaligus mampu mengukur pengaruhnya terhadap pembangunan kota yang berkelanjutan.
-
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Yogyakarta Tahun 2010 – 2029 menyebutkan bahwa salah satu tujuan rencana tata ruang wilayah Kota Yogyakarta adalah terwujudnya ruang wilayah daerah yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Adapun kebijakan struktur ruang meliputi pemantapan dan pengembangan hierarki sistem perkotaan dan pertumbuhan ekonomi wilayah yang merata untuk mendukung terlaksananya daerah sebagai Kota Pendidikan Berkualitas, Pariwisata Berbasis Budaya dan Pusat Pelayanan Jasa yang Berwawasan Lingkungan. Kebijakan struktur ruang tersebut senada dengan visi pembangunan jangka panjang Kota Yogyakarta sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Yogyakarta Tahun 2005 – 2025. Namun demikian berbagai kebijakan tersebut belum sepenuhnya dapat menengahi tarik-menarik kepentingan sosial, ekonomi dan lingkungan. Untuk itu, diperlukan analisis dampak kebijakan pembangunan wilayah (Kota Yogyakarta) terhadap keterkaitan antara aspek sosial, ekonomi dan lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan.
Untuk memecahkan permasalahan utama tersebut, maka beberapa pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
-
Bagaimana interaksi antara aspek sosial, ekonomi dan lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan di Kota Yogyakarta?
-
Bagaimana dampak kebijakan pembangunan (misal: kebijakan tentang alokasi anggaran APBD, dan kebijakan tentang ruang terbuka hijau) terhadap aspek sosial, ekonomi dan lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan di Kota Yogyakarta?
-
Bagaimana formulasi skenario kebijakan pembangunan daerah untuk mendorong keseimbangan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan terhadap keberlanjutan pembangunan Kota Yogyakarta?
Pemodelan utama dalam penelitian ini mengadaptasi model T21 yang dikembangkan oleh millenium institute (MI, 2005 & 2007) dan dilakukan penyesuaian dengan memasukkan faktor pembangunan sebagai faktor pemicu (trigger) bagi berlangsungnya hubungan antar sektor (Wiranatha, et.al.,2010). Model T21 yang berbasis pada model pemodelan menggunakan dasar-dasar sistem dinamis menjadi sebuah pilihan untuk mampu menggambarkan relasi dan ketergantungan sebuah sektor terhadap sektor lainnya (Bassi, 2008). Tujuan utama dari model T21 adalah menggambarkan dan mengevaluasi sebuah dampak dari kebijakan suatu sektor terhadap sektor lainnya. Keunggulan dari model T21 adalah (MI, 2007): 1). Tidak ada yang dirahasiakan pada model; asumsi, struktur hubungan (hubungan antar sektor dan antar variabel), persamaan dan data bersifat transparan, sehingga mudah untuk diperiksa, diverifikasi dan bahkan dimodifikasi; 2) Struktur hubungan pada model ini telah dikembangkan, sehingga memudahkan bagi pembauat keputusan; 3). T21 dirancang secara modular, yang berarti bahwa sektor baru dapat dikembangkan dan ditambahkan ke model. Sedangkan kelemahan model T21 diantaranya: 1). Pendekatan jangka menengah-panjang: tidak fokus pada dinamika jangka pendek; 2). Perspektif nasional: tidak mempertimbangkan keragaman antardaerah yang berbeda; 3). Menggunakan level agregat: parameter dirata-ratakan berdasarkan sektor; 4). Memerlukan keterlibatan aktif stakeholders dalam mendefinisikan struktur model.
Pada dasarnya variabel yang terdapat pada ketiga aspek (ekonomi, lingkungan dan sosial) mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya. Gambar 1 menggambarkan CLD utama yang menjelaskan hubungan antar variabel dalam sistem. Pada langkah selanjutnya, variabel dalam CLD utama ini akan dianalisis lebih dalam lagi membentuk CLD yang lebih kecil untuk mendapatkan analisis yang lebih akurat. Berdasarkan CLD pada Gambar 1 diketahui bahwa hubungan antar variabel dalam permasalahan pembangunan berkelanjutan sangat kompleks dan saling mempengaruhi antar satu variabel dengan variabel lain. Oleh karena itu pada penelitian ini, ruang lingkup yang diambil adalah terbatas pada sektor pembangunan di Kota Yogyakarta yang memiliki porsi lebih besar dibanding yang lain yakni sektor perdagangan hotel dan restoran, jasa dan pariwisata.
Gambar1: CLD Utama Pembangunan Berkelanjutan
di Kota Yogyakarta