Setelah lebih dari 20 tahun menjadi aktivis organisasi masyarakat sipil, Otto Adi Yulianto tiba pada satu titik di mana ia merasa perlu untuk melengkapi apa yang diperolehnya lewat pengalaman dengan wawasan teoretis dan kemampuan analisis yang relevan. Sejak masih kuliah di Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen UKSW Salatiga pada awal dekade 1990-an, Otto sudah aktif di dunia gerakan. Masa itu, Otto bergabung di Yayasan Geni Salatiga, sebuah LSM yang didirikan oleh sejumlah aktivis mahasiswa UKSW dan dekat dengan dosen-cum-aktivis kala itu, seperti Dr. Arief Budiman, Dr. George J. Aditjondro, dan Dr. Ariel Heryanto. Salah satu aktivitasnya di organisasi ini adalah menggalang dukungan bagi komunitas warga yang menjadi korban kebijakan pembangunan pemerintah Orde Baru, seperti warga Kedung Pring di Kedung Ombo dan komunitas pedagang kaki lima (PKL) di Salatiga.
Menjelang akhir tahun 1997, Otto ke Jakarta, bergabung dengan ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), organisasi masyarakat sipil yang aktif memperjuangkan pemajuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Selain di ELSAM, sejak 2003 Otto juga aktif di DEMOS (Lembaga Kajian HAM dan Demokrasi). Pada tahun 2012, Otto bergabung dengan komunitas Relawan Penggerak Jakarta Baru (RPJB) di Condet, Jakarta. Setelah lama berkecimpung di organisasi masyarakat sipil, dan belakangan lebih berminat pada usaha pengembangan gagasan lewat media tulis, Otto merasa perlu untuk meningkatkan kapasitas, terutama dalam hal wawasan teoretis dan kemampuan analisis, dengan masuk kelingkungan akademis dan bersekolah kembali. Pucuk dicinta, Direktur ELSAM menawarkan peluang baginya untuk studi lanjut, di mana Otto diberi keleluasaan untuk menentukan sendiri jurusan dan universitasnya.
Setelah melakukan penelusuran, Otto memilih dan memutuskan mendaftar ke program Magister Studi Kebijakan (MSK) UGM, yang dinilainya tepat, baik bagi kebutuhannya maupun isu ELSAM. Setahun kuliah di MSK UGM, Otto menilai bahwa banyak pengetahuan dan wawasan baru yang diperolehnya, baik berhubungan dengan teori kebijakan, isu kebijakan sosial, hingga persoalan metode penelitian. Pengetahuan dan wawasan tentang pelbagai hal tersebut sangat dibutuhkan, dan–menurutnya- bisa memberikan pemahaman yang dapat menjembatani antara apa yang sudah diraih oleh gerakan sosial saat ini dengan visi yang ingin dicapai.
Selama ini, aktivisme di gerakan masyarakat sipil didominasi oleh pendekatan ekonomi-politik, selain juga legalistik. Secara historis, gerakan LSM di Indonesia muncul sebagai respons terhadap rezim pembangunan Orde Baru yang disponsori lembaga keuangan global seperti Bank Dunia, serta korporasi multinasional. Demi memperkuat legitimasinya, rezim menempatkan pertumbuhan ekonomi –dengan sokongan politik stabilitas- sebagai panglima. Sementara masyarakat bawah harus siap untuk berkorban demi “pembangunan”, di mana nantinya juga akan ikut menikmati tetesan berkahnya seturut konsep trickle down effect. Dalam merespon situasi tersebut, gerakan sosial berkutat dengan gagasan-gagasan besar seperti kritik terhadap kapitalisme, transformasi ke sosialisme, transisi demokrasi, atau universalitas hak asasi manusia. Pelbagai hal tersebut penting, namun di sisi lain gagasan yang lebih operasional seperti isu dan desain kebijakan sosial-yang tak kalah dibutuhkan, di mana di atas kertas juga dapat direalisasikan- kurang memperoleh perhatian.
Bicara tentang kebijakan, menurut Otto, ada kecenderungan terjadi reduksi makna di lingkungan aktivismenya, di mana kebijakan semata dilihat sebagai legislasi atau perundang-undangan. Barangkali, karena latar belakang aktivisnya yang kebanyakan sarjana ilmu hukum. Implikasinya, advokasi kebijakan lebih diarahkan pada kritisisme terhadap undang-undang (UU) atau rancangan undang-undang (RUU). Padahal kebijakan tidak sekadar UU atau RUU, namun merupakan rangkaian panjang proses yang meliputi banyak tahapan dari agenda setting, perumusan, adopsi, hingga implementasi dan evaluasi kebijakan, di mana para aktivis dimungkinkan untuk melakukan intervensi di setiap tahap tersebut. Dalam melakukan intervensi, tidak hanya dengan menggunakan pendekatan legalistik semata, namun multi dan interdisipliner.
“Dari Magister Studi Kebijakan UGM saya memperoleh banyak pengetahuan dan wawasan, di antaranya tentang kebijakan sosial. Sejauh yang saya pahami, kebijakan sosial ini dimaksudkan untuk menjamin dan memenuhi hak-hak sosial dari warga negara. Pemahaman tentang kebijakan sosial ini bisa menjadi inspirasi bagi gerakan sosial dalam memperjuangkan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya (hak Ekosob). Lewat pendekatan kebijakan sosial, usaha untuk mendorong pemenuhan hak Ekosob tidak sekadar dilakukan dengan mempersoalkan alokasi anggaran atau menuntut pemenuhan hak yang kadang reaktif, namun juga dapat dilakukan dengan mendorong penyelenggaraan kebijakan perlindungan sosial dan desain kelembagaan yang tepat atau, lebih jauh lagi, pembentukan rezim kesejahteraan berikut strategi pembiayaannya sehingga dapat menjamin dan memenuhi hak Ekosob warga negara secara keseluruhan. Memang sudah ada sejumlah organisasi masyarakat sipil yang memberi perhatian terhadap persoalan kebijakan sosialini, namun dari segi kapasitas gerakan tampaknya masih butuh dukungan dan keterlibatan kelompok yang lebih luas lagi. Sementara di sisilain, banyak organisasi atau kelompokyang masih kurang memperhatikan persoalan tersebut, bahkan bisa jadi menilainya sebagai persoalan yang asing atau di luar kompetensinya, padahal sejatinya sangat berkaitan erat dengan visi dan isu yang ditekuninya.”
Salah satucontoh, di suatu daerah di Jawa Tengah ada gerakan sosial berbasis organisasi petani yang relatif kuat, yang telah berhasil mengirimkan wakil-wakilnya menjadi kepala desa, anggota DPRD, bahkan bupati di daerahnya. Namun menariknya, dalam rencana pembangunan di daerah tersebut, jangankan program yang berorientasi pada petani, program-program yang berorientasi pada distribusi kesejahteraan dan perlindungan sosial warga pada umumnya masih minim. Ada kecenderungan bahwa persoalan rencana pembangunan daerah ini tidak menjadi isu bagi organisasi petani tersebut. Bagi mereka, yang lebih diharapkan adalah dukungan dari bupati, anggota DPRD, juga kepala-kepala desa di daerahnya bagi usaha penyelesaian sejumlah sengketa lahan yang dialami para petani anggotanya. Dalam persoalan kesejahteraan yang lain, mereka sudah merasa puas bila bupati atau anggota DPRD juga membantu para ibu-ibu dari keluarga petani yang mengalami kesulitan akses ke rumah sakit daerah saat mereka hendak melahirkan, atau melarang pihak pengelola sekolah di daerahnya menarik iuran tambahan yang memberatkan orang tua murid khususnya dari petani.
Benar bahwa apa yang sudah dan akan dilakukan para wakilnya tersebut penting, namun dengan kapasitas dan peluang yang dimiliki, organisasi petani tersebut mempunyai potensi dapat memperjuangkan persoalan kesejahteraan yang lebih luas dan terlembagakan, yang tidak hanya bermanfaat bagi segenap anggota organisasi tersebut namun juga seluruh warga di daerahnya secara berkelanjutan. Seperti mendorong adanya pelbagai program distribusi kesejahteraan dan perlindungan sosial yang komprehensif dan bersifat universal, misalnya dalam hal jaminan kesehatan dan pendidikan, tanpa bermaksud mengabaikan aspek strategi pembiayaannya. Juga mendorong penyelenggaraan program sosial lainnya, seperti perlindungan petani oleh pemerintah daerah setempat dari kemungkinan terjadinya gagal panen. Belajar dari pengalaman tersebut, kesadaran, pengetahuan, dan wawasan tentang kebijakan sosial benar-benar penting dan sangat dibutuhkan.*****
Otto Adi Yulianto
Kepala Biro Litbang Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta
MSK 2014